Sabtu, 10 Maret 2012

Belajar dari Al-Hujarat Ayat 11-12


A.    Dilarang mencela orang lain
Islam sebagaimana kodratnya adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup tanpa orang lain, karenanya ia memerlukan orang lain agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Secara keseluruhan Islam telah memberikan cara-cara atau ketentuan-ketentuan, bagaimana seseorang bersikap atau berhubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, yang dalam bahasa agama dikenal dengan Habl min Allah wa habl min An-Nas. (Juwariyah, 2008: 283-284).
Amal saleh atau perbuatan baik, itulah ukuran yang Allah tentukan bagi manusia dalam kehidupan dunia ini dan yang Allah berikan bagi keuntunganya dalam akhirat kelak. (Jazuli, 2006: 73). Dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, yang saling membutuhkan antar satu dengan yang lainya tentu kita memiliki kewajiban untuk saling membantu mereka. Dan mereka wajib membantu kita juga, namun bukan berarti kita meminta imbalan. Kemudian terjadilah timbal balik yang baik kalau semua mengetahui konsekuensi sebagai makhluk sosial.
Salah satu pondasi dalam interaksi sosial adalah selalu menghiasi diri dengan akhlak islami. (Jazuli, 2006: 525). Dalam Al-Qur’an sendiri telah banyak diterangkan apa dan bagaimana seharusnya kita bertingkah laku. Seperti QS Al-Hujarat ayat 11, yang berbunyi:

يآ ءيها الذين امنوا لا تسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خير منهن ج ولا تلمزوا انفسكم ولاتنابزوا بلألقاب قلى بئس الا سم الفسوق بعد الإيمان ج ومن لا يتب فألئك هم الظالمون ﴿۱۱﴾

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman (Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya) dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Jumanatul ‘Ali, 2004: 516)

Dengan ayat ini jelas bahwasanya Allah melarang kita, baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan untuk mengolok-olok, mengejek, merendahkan atau melecehkan orang lain. Karena boleh jadi orang terhina tersebut lebih mulia kedudukanya disisi Allah ketimbang yang mengolok-olok tadi. Mengejek atau mengolok-olok berarti meledek, menghina mengganggu. (KBI, 2008: 898). Ayat ini turun karena jaman dulu ada seorang delegasi kerajaan yang sangat tampan memperolok kaum muslimin, dia memasang muka sinis kemudian memperolok mereka. (Mahalli&Suyuthi, :686). Kemudian dilihat dari siyaqul kalam atau susunan kalimatnya, terdapat huruf lam alif ( لا  ) yang merupakan huruf laa nahiyah yang ditunjukkan dengan harakat sukun pada fi’il mudhori’ setelahnya, yaitu lafadz Taskhar. Taufiqul Hakim menerangkan dalam kitab kecilnya yang mengutib dari Alfiyah bahwa :

وَاجْزِمْ بِإِنْ وَمَنْ وَمَا وَمَهْمَا اَيّ مَتَى أَيَّانَ اَيْنَ إِذْمَا

Artinya: “mudhori’ jazm sebab lafadz in, ma, man, dan kata aina, la, li, lam juga lamma, mahma, ayyun, mata dan ayyana idzma.” (Hakim, 2003: 46)

Fadhilah dari laa nahiyah tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa kata tersebut menunjukkan sebuah larangan. Yang dimaksud larangan adalah perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan. (KBI, 2008: 883). Dalam bahasa ushul fiqh yang dimaksud larangan (Nahy) adalah Tholabu At-Tarki yang artinya adalah melakukan usaha untuk merusaha menjauhinya.
Huruf lam alif tersebut juga kita temukan di beberapa kata setelahnya, seperti lafadz Laa Nisaa, Laa Talmizuu dan Laa Tanabazuu. Kemudian setelahnya kita menemukan huruf lam ( لم ) pada kalimat Lam Yatub. Kesemuanya tersebut faedahnya tetaplah sama. Menunjukkan suatu larangan.
Seperti yang telah dijelaskan pada awal tadi bahwa Allah telah melarang dengan jelas bahwa kita tidak oleh mengolok-olok, mencaci maki orang lain dengan sebutan yang tidak sepantasnya diucapkan. Contoh mengolok-olok misalnya dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataanya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. (Husaeri, 2008: 36).
Allah telah menggambarkan kehidupan didunia ini sebagai kehidupan yang penuh dengan tipu daya. Semua ini didasarkan pada kenyataan bahwa semua materi duniawi mampu memperdaya manusia dan membuat manusia cenderung untuk mendapatkanya dan tidak memperdulikan semua dampak negaif yang ditimbulkanya, yakni penyesalan dan hukuman Allah diakhirat kelak. (Jazuli, 2006: 76). Disamping itu juga dari segi sosial juga akan mendapat celaan atau dikucilkan, dijauhi oleh masyarakat lainya. Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-olok itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan terhadap orang lain. Juga tidak adanya pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan di sisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan di sisi Allah didasarkan kepada keimanan, keikhlasan, dan hubungan baik dengan Allah SWT. Tidak diukur dengan penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta. (Al-Qardawi, 2004: 387).
Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Bahkan al-.Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A.masy (si Rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as Shidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah). (Shihab, 2003: 252)
Larangan ini (mencela diri-sendiri) hampir sama dengan firman-Nya .Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri. maksudnya janganlah satu sama lain saling membunuh. Sebuah syair mengatakan: janganlah kamu membuka-buka keburukan orang lain, selagi mereka menutupinya. Maka Allah takkan membukakan keburukanmu. Sebutlah kebaikan yang ada pada mereka, bila nama mereka disebut-sebut. Janganlah kamu mencela seorang pun dari mereka dengan keburukan yang justru ada pada diri kamu sendiri. (Husaeri, 2008: 41).

B.     Menjauhi su’udzon
Allah SWT melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Didalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa Allah memerintahkan pada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka (negative think) terhadap sesama. Dia juga melarang hamba-Nya menuduh orang lain sesama manusia melakukan perbuatan keji, berhianat dan sebagainya. Dalam QS Al-Hujarat dijelaskan bahwa:

يآ ءيها الذين امنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم   صلى ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا ج ان يحب احدكم ان ياءكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه ج واتقوا الله ج إن الله تواب رحيم ﴿۱٦﴾

 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Kata  ijtanibu terambil dari kata  janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf  ta, pada kata tersebut berfungsi penekanan yang berarti kata ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk. (Al-Qardawi, 2004: 387). Kata ijtanibu dari kata Janb mengikuti wazan Ifta’ala dengan tambahan hamzah diawalnya dan huruf ta’ diantara diantara huruf fa’ dan ‘ain. Hal semacam ini mempunyai faedah Lil Ittihkodz atau menjadikan. (Ma’shum, : 25).
ظن = التخمين  berarti dugaan atau perkiraan. (A. W. Munawwir, 1997: 883). Yang namanya dugaan atau perkiraan, tentunya didalamnya mempunyai kemungkinan benar atau salah. Imam Jalalain menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Dzann dalam ayat ini adalah dilarang berprasangka buruk terhadap orang mukmin dengan menyangka mereka melakukan perbuatan fasik dan sebagainya, padahal mereka kaum mukmin tidak melakukan hal tersebut. (Mahalli&Suyuthi, :686). Sedangkan Inb Katsir menerangkan dalam kitabnya bahwa yang dimaksud Dzann dalam ayat ini adalah memberikan atau mengatakan tuduhan (fitnah) yang buruk kepada keluarga, teman atau orang lain tanpa ada bukti nyata yang menyertainya. Kemudian Ibn Katsir mengatakan bahwa kita selaku orang mukmin harus berusaha untuk mengjauhi dari hal-hal berikut karena ada dosa yang sangat besar didalamnya. (Ibn Katsir, 1999: 377).
Sebagai mukmin kita seharusnya menjauhi buruk sangka terhadap orang-orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberi tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah faham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah. Allah SWT melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesama manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apa pun yang mereka ucapakan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kejahatan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu. (Al-Maraghi, 1993: 27).
Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajib/diperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujian/musibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan seperti berbaik sangka kepada saudaranya yang muslim, dan berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. (Zuhaili, : 578)
Sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking (husnudhdhan), (Husaeri, 2008: 39). Ayat tersebut menjadi dasar larangan menduga, Yakni dugaan yang tidak berdasar. Apabila ada bukti kuat yang mendukung dugaan seseorang maka hal itu tidak mengapa. Dugaan buruk dan tidak didukung dengan bukti kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya pikiran akan habis untuk menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak mengherankan apabila hidup tidak menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan dugaan buruk tersebut. (Al-Qardawi, 2004: 255).
Kemudian Allah juga melarang kita agar tidak memata-matai atau mencari kesalahan orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Dalam ayat diatas dijelaskan dengan kata Walaa Tajassasuu. Tajassuss berasal dari kata Jassa-yajussu yang artinya menyelidiki atau memata-matai. (A. W. Munawwir, 2008: 192). Imam al-Ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiahannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. (Shihab, 2003: 255).
Tajassus merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang. Tajassus dapat merenggangkan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga, tajassus pun demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ia dapat dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih dilarang. (Husaeri, 2008: 40).
Ayat ini juga menjadi pesan mengenai wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin ketika yang bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan ghibah atau menggunjing. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasulallah SAW, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Abu Hurairah RA berkata:

Abu Hurairah r.a berkata, Rasulallah bersabda,! Tahukah kamu apakah ghibah itu? Jawab sahabat, Allah dan Rasulallah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, .Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.. Ditanyakan lagi, .Bagaimana bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?. Jawab Nabi, .Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu telah berbohong. (HR Turmuzdi). (Abd. Aziz, 1999: 450).

Sesungguhnya ghibah adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga dirinya, kemuliaannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusuk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan, ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghibah merupakan tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain.

C.     Menciptakan suasana yang damai
Untuk menciptakan suasana damai tertib tenang dan harmonis, seharusnya kita sebagai orang Islam mengikuti perintah Allah dan Nabi-Nya. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan agar manusia saling berbuat kebaikan. QS Al-Hujarat merupakan salah satu surat yang menerangkan agar manusia tidak berbuat kemaksiatan, menjalin hubungan baik dengan orang lain. Agar manusia dapat hidup dengan penuh keserasihan dan keharmonisan dengan manusia lainya, tidak boleh tidak dia harus membatasi cintanya pada dirinya sendiri dan egoismenya. Juga hendaknya ia juga menyeimbangkan cintanya dengan cinta dan kasih sayang kepada orang lain, bekerja sama dengan atau memberi bantuan kepada mereka. (Notowidagdo, 2002: 79).
Nabi SAW dalam banyak kesempatan juga telah memberikan petuntuk-petunjuknya kepada manusia, bagaimana ia berakhlak kepada orang lain. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi:

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فليحسن إلى جاره، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فليكرم ضيفه، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فليقل خيرا او ليسمت. رواه الخمسة (أحمد و بخارى ومسلم ونسائ وابن حبان)

Artinya: “dari Abu Hurairah R.A. berkata: bersabda Rasulullah SAW: barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berbuat baik terhadap tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia menghormati tamunya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari maka hendaknya ia berkata baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam’. (HR Ahmad, Buchori, Muslim, Nasa’i dan Ibn Hibban). (As-Suyuthy, 1981: 239).
Berbuat baik terhadap tetangga, menghormati tamu dan berkata jujur merupakan ajaran yang seharusnya menjadi acuan bagi orang beriman, karena itu mencermati sabda Nabi SAW diatas, barangkali ada baiknya untuk dilakukan intropeksi diri, dengan mengajukan pertanyaan seperti:  sudah seberapa jauh setiap mukmin telah memberikan apresiasi terhadap apa yang diperintahkan Nabinya, baaik terhadap tetangga, tamu maupun didalam menjaga lisanya untuk senantiasa berkata jujur dan menghindari kedustaan, ataukah justru mereka sebagai mukmin  tidak pernah sempat banyak berpikit tentang semua yang merupakan tanda-tanda dari pengakuan keimananya tersebut. Karena tidak sedikit orang susah yang merasa tidak mendapatkan perlakuan baik atau perhatian dari tetangganya yang terbilang kaya. Dan banyak orang yang membedakan dalam perlakuan tamu-tamu yang datang kepadanya (antara si miskin dan si kaya, rakyat kecil dan penguasa) karena mereka memandang kemuliaan dan kehormatan seseorang hanya dari segi lahiriyahnya saja, seperti harta kekayaan, pangkat/jabatan, keturunan, kedudukan dan lain sebagainya yang menurut Allah semua itu tidak dapat sepenuhnya dijadikan indikator bahwa orang yang memiliki semua itu adalah orang mulia. Begitu pula dengan masalah bicara.
Janganlah sebagai seorang muslim, malah mengolok-olok atau menghina muslim lainya. Seseorang yang mengolok-olok saudaranya, menghina diri sendiri dan memberikan panggilan yang buruk berarti ia telah merendahkan orang tersebut dan sekaligus tidak menjunjung kehormatan kaum Muslimin. Sedangkan menjunjung kehormatan kaum Muslimin merupakan kewajiban setiap umat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah sabda Nabi Muhammad SAW:

عن ابى هريرة رضى الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المسلم إخو المسلم لا يكذبه ولا يخذله كل مسلم على المسلم حرام عرضه وماله ودمه التقوى ههنا بحسب امرئ السر ان يحقر اخاه المسلم (رواه الترمذى وقال: حديث حسن)

Artinya: “dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: sesama muslim adalah bersaudara. Sesama muslim tidak boleh menghianati, mendustai dan menghinakanya. Sesama muslim haram mengganggu kehormatanya, harta dan darahnya. Taqwa itu ada disini (sambil menunjuk dadanya). Seseorang cukup dianggap jahat apabila ia menghina saudaranya yang muslim.” (diriwayatkan oleh Tirmidzi, ia berkata: hadis ini hasan). (Abd Aziz, 1999: 449).

KESIMPULAN

Akhlak merupakan cermin kepribadian seseorang, sehingga baik buruknya seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Al-Qur.an adalah sumber pokok dalam berprilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika al-Qur.an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman bathin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 dan 12 surat al-Hujurat ini mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat: mengolok-olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri, dan memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk Orang yang dipanggil dengan gelar buruk, maka orang tersebut akan merasa terhina dan ternodai kehormatannya, sedangkan memelihara kehormatan orang lain adalah diwajibkan. Oleh karena itu, janganlah memanggil orang lain dengan gelar buruk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak suka dengan panggilan tersebut.
Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan bergunjing. Sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking (husnudhdhan).
Allah SWT memberi perumpamaan, orang-orang yang suka bergunjing itu seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Ajaran Islam menegaskan bahwa seorang hamba harus menjauhi perbuatan tercela ini. Adapun yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah adalah: Hendak mencairkan amarah. Misalnya disebabkan karena ada seseorang yang membuatnya marah maka, untuk mencairkan amarahnya orang tersebut menggunjingnya, Menyesuaikan diri dengan teman-teman, menjaga keharmonisan dan karena hendak membantu mereka, Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjelek-jelekan orang lain. Misalnya si fulan orangnya bodoh, pengetahuannya rendah, sedangkan saya tidak seperti itu, Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan kekurangan seseorang dengan maksud untuk membuat orang disekitarnya tertawa. Bahkan tidak sedikit orang yang mencari penghidupannya dengan cara ini.
Allah SWT memerintahkan supaya tetap bertakwa kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Maha Penyayang kepada siapa saja yang benar-benar kembali kepada-Nya, yakni melaksanakan taubatan nasuha, dan inilah taubat yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar