A.
Dilarang
mencela orang lain
Islam sebagaimana kodratnya adalah
makhluk sosial yang tidak mungkin hidup tanpa orang lain, karenanya ia
memerlukan orang lain agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Secara
keseluruhan Islam telah memberikan cara-cara atau ketentuan-ketentuan, bagaimana
seseorang bersikap atau berhubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia,
yang dalam bahasa agama dikenal dengan Habl min Allah wa habl min An-Nas. (Juwariyah,
2008: 283-284).
Amal saleh atau perbuatan baik,
itulah ukuran yang Allah tentukan bagi manusia dalam kehidupan dunia ini dan
yang Allah berikan bagi keuntunganya dalam akhirat kelak. (Jazuli, 2006: 73).
Dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, yang saling membutuhkan antar satu
dengan yang lainya tentu kita memiliki kewajiban untuk saling membantu mereka.
Dan mereka wajib membantu kita juga, namun bukan berarti kita meminta imbalan.
Kemudian terjadilah timbal balik yang baik kalau semua mengetahui konsekuensi
sebagai makhluk sosial.
Salah satu pondasi dalam interaksi
sosial adalah selalu menghiasi diri dengan akhlak islami. (Jazuli, 2006: 525).
Dalam Al-Qur’an sendiri telah banyak diterangkan apa dan bagaimana seharusnya
kita bertingkah laku. Seperti QS Al-Hujarat ayat 11, yang berbunyi:
يآ ءيها الذين
امنوا لا تسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن
خير منهن ج ولا تلمزوا انفسكم ولاتنابزوا بلألقاب قلى بئس
الا سم الفسوق بعد الإيمان ج ومن لا يتب فألئك هم الظالمون ﴿۱۱﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri (mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu
tubuh) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman (Panggilan yang buruk ialah gelar
yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang
yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan
sebagainya) dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Jumanatul ‘Ali, 2004: 516)
Dengan ayat ini jelas bahwasanya Allah melarang kita, baik kaum
laki-laki maupun kaum perempuan untuk mengolok-olok, mengejek, merendahkan atau
melecehkan orang lain. Karena boleh jadi orang terhina tersebut lebih mulia
kedudukanya disisi Allah ketimbang yang mengolok-olok tadi. Mengejek atau
mengolok-olok berarti meledek, menghina mengganggu. (KBI, 2008: 898). Ayat ini
turun karena jaman dulu ada seorang delegasi kerajaan yang sangat tampan
memperolok kaum muslimin, dia memasang muka sinis kemudian memperolok mereka.
(Mahalli&Suyuthi, :686). Kemudian dilihat dari siyaqul kalam atau susunan
kalimatnya, terdapat huruf lam alif ( لا ) yang merupakan huruf laa nahiyah yang
ditunjukkan dengan harakat sukun pada fi’il mudhori’ setelahnya, yaitu lafadz Taskhar.
Taufiqul Hakim menerangkan dalam kitab kecilnya yang mengutib dari Alfiyah
bahwa :
وَاجْزِمْ
بِإِنْ وَمَنْ وَمَا وَمَهْمَا اَيّ مَتَى أَيَّانَ اَيْنَ إِذْمَا
Artinya: “mudhori’ jazm sebab lafadz in, ma, man, dan kata aina,
la, li, lam juga lamma, mahma, ayyun, mata dan ayyana idzma.” (Hakim, 2003:
46)
Fadhilah dari laa nahiyah tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa
kata tersebut menunjukkan sebuah larangan. Yang dimaksud larangan adalah perintah
(aturan) yang melarang suatu perbuatan. (KBI, 2008: 883). Dalam bahasa ushul
fiqh yang dimaksud larangan (Nahy) adalah Tholabu At-Tarki yang artinya
adalah melakukan usaha untuk merusaha menjauhinya.
Huruf lam alif tersebut juga kita temukan di beberapa kata
setelahnya, seperti lafadz Laa Nisaa, Laa Talmizuu dan Laa Tanabazuu.
Kemudian setelahnya kita menemukan huruf lam ( لم ) pada kalimat Lam Yatub.
Kesemuanya tersebut faedahnya tetaplah sama. Menunjukkan suatu larangan.
Seperti
yang telah dijelaskan pada awal tadi bahwa Allah telah melarang dengan jelas
bahwa kita tidak oleh mengolok-olok, mencaci maki orang lain dengan sebutan
yang tidak sepantasnya diucapkan. Contoh
mengolok-olok misalnya dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan
menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia
keliru perkataanya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. (Husaeri,
2008: 36).
Allah telah
menggambarkan kehidupan didunia ini sebagai kehidupan yang penuh dengan tipu
daya. Semua ini didasarkan pada kenyataan bahwa semua materi duniawi mampu memperdaya
manusia dan membuat manusia cenderung untuk mendapatkanya dan tidak
memperdulikan semua dampak negaif yang ditimbulkanya, yakni penyesalan dan
hukuman Allah diakhirat kelak. (Jazuli, 2006: 76). Disamping itu juga dari segi
sosial juga akan mendapat celaan atau dikucilkan, dijauhi oleh masyarakat
lainya. Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-olok itu dilarang karena di
dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan
terhadap orang lain. Juga tidak adanya pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan
di sisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan di sisi Allah didasarkan kepada
keimanan, keikhlasan, dan hubungan baik dengan Allah SWT. Tidak diukur dengan
penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta. (Al-Qardawi, 2004: 387).
Perlu dicatat
bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan
tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya abu Hurairah yang nama aslinya
adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi
Thalib. Bahkan al-.Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan
Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A.masy (si Rabun) bagi Sulaiman Ibn
Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak
dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as Shidiq. Kepada Umar
dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan
kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah
(pedang Allah). (Shihab, 2003: 252)
Larangan ini
(mencela diri-sendiri) hampir sama dengan firman-Nya .Dan janganlah kamu
membunuh diri sendiri. maksudnya janganlah satu sama lain saling
membunuh. Sebuah syair mengatakan: janganlah kamu membuka-buka keburukan
orang lain, selagi mereka menutupinya. Maka Allah takkan membukakan
keburukanmu. Sebutlah kebaikan yang ada pada mereka, bila nama mereka
disebut-sebut. Janganlah kamu mencela seorang pun dari mereka dengan keburukan
yang justru ada pada diri kamu sendiri. (Husaeri, 2008: 41).
B.
Menjauhi su’udzon
Allah SWT melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya
tersembunyi. Didalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa Allah memerintahkan pada
hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka (negative think) terhadap sesama. Dia
juga melarang hamba-Nya menuduh orang lain sesama manusia melakukan perbuatan
keji, berhianat dan sebagainya. Dalam QS Al-Hujarat dijelaskan bahwa:
يآ ءيها الذين امنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم صلى ولا تجسسوا ولا
يغتب بعضكم بعضا ج ان يحب احدكم ان ياءكل لحم أخيه ميتا
فكرهتموه ج واتقوا الله ج إن الله تواب رحيم ﴿۱٦﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Kata ijtanibu terambil dari kata janb yang berarti samping.
Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini
kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf ta, pada kata tersebut berfungsi
penekanan yang berarti kata ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah.
Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk. (Al-Qardawi, 2004:
387). Kata ijtanibu dari kata Janb mengikuti wazan Ifta’ala dengan
tambahan hamzah diawalnya dan huruf ta’ diantara diantara huruf fa’ dan ‘ain. Hal
semacam ini mempunyai faedah Lil Ittihkodz atau menjadikan. (Ma’shum, : 25).
ظن =
التخمين berarti dugaan atau perkiraan. (A. W.
Munawwir, 1997: 883). Yang namanya dugaan atau perkiraan, tentunya didalamnya
mempunyai kemungkinan benar atau salah. Imam Jalalain menerangkan bahwa yang
dimaksud dengan Dzann dalam ayat ini adalah dilarang berprasangka buruk
terhadap orang mukmin dengan menyangka mereka melakukan perbuatan fasik dan
sebagainya, padahal mereka kaum mukmin tidak melakukan hal tersebut. (Mahalli&Suyuthi, :686). Sedangkan Inb Katsir menerangkan dalam
kitabnya bahwa yang dimaksud Dzann dalam ayat ini adalah memberikan atau
mengatakan tuduhan (fitnah) yang buruk kepada keluarga, teman atau orang lain
tanpa ada bukti nyata yang menyertainya. Kemudian Ibn Katsir mengatakan bahwa
kita selaku orang mukmin harus berusaha untuk mengjauhi dari hal-hal berikut
karena ada dosa yang sangat besar didalamnya. (Ibn Katsir, 1999: 377).
Sebagai mukmin
kita seharusnya menjauhi buruk sangka terhadap orang-orang yang beriman dan
jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang
mukmin, maka kalimat itu harus diberi tanggapan yang baik, ditujukan kepada
pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah faham, apalagi
menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Pada dasarnya
setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah. Allah SWT melarang melakukan
perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesama manusia dan menuduh
mereka berkhianat pada apa pun yang mereka ucapakan dan yang mereka lakukan.
Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan
kepada orang baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat
kejahatan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya.
Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa
semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu.
(Al-Maraghi, 1993: 27).
Wahbah Zuhaili
dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajib/diperintahkan
oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin,
ketika Allah memberikan suatu musibah maka seorang hamba harus menyadari bahwa
hal tersebut merupakan kasih sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi
ujian/musibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus
dosanya. Kedua dhan yang dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada
Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang
berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka
kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan seperti berbaik sangka
kepada saudaranya yang muslim, dan berburuk sangka jika memang yang
bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. (Zuhaili, : 578)
Sesungguhnya
prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini merupakan alasan dilarangnya
berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan
yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji,
padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang terpuji. Oleh karena itu, seorang
Muslim hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif
thinking (husnudhdhan), (Husaeri, 2008: 39). Ayat tersebut menjadi dasar
larangan menduga, Yakni dugaan yang tidak berdasar. Apabila ada bukti kuat yang
mendukung dugaan seseorang maka hal itu tidak mengapa. Dugaan buruk dan tidak
didukung dengan bukti kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya
pikiran akan habis untuk menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak
mengherankan apabila hidup tidak menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan
dugaan buruk tersebut. (Al-Qardawi, 2004: 255).
Kemudian Allah
juga melarang kita agar tidak memata-matai atau mencari kesalahan orang lain
dengan sembunyi-sembunyi. Dalam ayat diatas dijelaskan dengan kata Walaa
Tajassasuu. Tajassuss berasal dari kata Jassa-yajussu yang artinya
menyelidiki atau memata-matai. (A. W. Munawwir, 2008: 192). Imam al-Ghazali
memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam
kerahasiahannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan
diketahui orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang
dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari
dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga.
(Shihab, 2003: 255).
Tajassus
merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang. Tajassus dapat
merenggangkan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga, tajassus pun
demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ia dapat dibenarkan dalam
konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat yang sifatnya umum.
Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih dilarang. (Husaeri,
2008: 40).
Ayat ini juga
menjadi pesan mengenai wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin ketika yang
bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan ghibah atau
menggunjing. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasulallah SAW,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa
Abu Hurairah RA berkata:
Abu Hurairah r.a
berkata, Rasulallah bersabda,! Tahukah kamu apakah ghibah itu? Jawab sahabat,
Allah dan Rasulallah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, .Kamu menceritakan
perihal saudaramu yang tidak disukainya.. Ditanyakan lagi, .Bagaimana bila
keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?. Jawab Nabi, .Bila
keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah
terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu telah
berbohong. (HR Turmuzdi).
(Abd. Aziz, 1999: 450).
Sesungguhnya ghibah
adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga
dirinya, kemuliaannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada di
hadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama
dengan menusuk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan,
ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghibah merupakan
tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah
seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain.
C.
Menciptakan
suasana yang damai
Untuk menciptakan suasana damai
tertib tenang dan harmonis, seharusnya kita sebagai orang Islam mengikuti
perintah Allah dan Nabi-Nya. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang
menerangkan agar manusia saling berbuat kebaikan. QS Al-Hujarat merupakan salah
satu surat yang menerangkan agar manusia tidak berbuat kemaksiatan, menjalin
hubungan baik dengan orang lain. Agar manusia dapat hidup dengan penuh
keserasihan dan keharmonisan dengan manusia lainya, tidak boleh tidak dia harus
membatasi cintanya pada dirinya sendiri dan egoismenya. Juga hendaknya ia juga
menyeimbangkan cintanya dengan cinta dan kasih sayang kepada orang lain,
bekerja sama dengan atau memberi bantuan kepada mereka. (Notowidagdo, 2002:
79).
Nabi SAW dalam banyak kesempatan
juga telah memberikan petuntuk-petunjuknya kepada manusia, bagaimana ia
berakhlak kepada orang lain. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
yang berbunyi:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فليحسن إلى جاره، مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فليكرم ضيفه، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فليقل خيرا او ليسمت. رواه الخمسة (أحمد و بخارى ومسلم
ونسائ وابن حبان)
Artinya: “dari Abu Hurairah R.A.
berkata: bersabda Rasulullah SAW: barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka hendaknya ia berbuat baik terhadap tetangganya. Dan barang siapa
beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia menghormati tamunya. Dan barang
siapa beriman kepada Allah dan hari maka hendaknya ia berkata baik atau (kalau
tidak bisa) lebih baik diam’. (HR Ahmad, Buchori, Muslim, Nasa’i dan Ibn
Hibban). (As-Suyuthy, 1981: 239).
Berbuat baik terhadap tetangga,
menghormati tamu dan berkata jujur merupakan ajaran yang seharusnya menjadi
acuan bagi orang beriman, karena itu mencermati sabda Nabi SAW diatas,
barangkali ada baiknya untuk dilakukan intropeksi diri, dengan mengajukan
pertanyaan seperti: sudah seberapa jauh
setiap mukmin telah memberikan apresiasi terhadap apa yang diperintahkan
Nabinya, baaik terhadap tetangga, tamu maupun didalam menjaga lisanya untuk
senantiasa berkata jujur dan menghindari kedustaan, ataukah justru mereka
sebagai mukmin tidak pernah sempat
banyak berpikit tentang semua yang merupakan tanda-tanda dari pengakuan
keimananya tersebut. Karena tidak sedikit orang susah yang merasa tidak
mendapatkan perlakuan baik atau perhatian dari tetangganya yang terbilang kaya.
Dan banyak orang yang membedakan dalam perlakuan tamu-tamu yang datang
kepadanya (antara si miskin dan si kaya, rakyat kecil dan penguasa) karena
mereka memandang kemuliaan dan kehormatan seseorang hanya dari segi
lahiriyahnya saja, seperti harta kekayaan, pangkat/jabatan, keturunan,
kedudukan dan lain sebagainya yang menurut Allah semua itu tidak dapat
sepenuhnya dijadikan indikator bahwa orang yang memiliki semua itu adalah orang
mulia. Begitu pula dengan masalah bicara.
Janganlah
sebagai seorang muslim, malah mengolok-olok atau menghina muslim lainya. Seseorang
yang mengolok-olok saudaranya, menghina diri sendiri dan memberikan panggilan
yang buruk berarti ia telah merendahkan orang tersebut dan sekaligus tidak
menjunjung kehormatan kaum Muslimin. Sedangkan menjunjung kehormatan kaum
Muslimin merupakan kewajiban setiap umat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan
dalam sebuah sabda Nabi Muhammad SAW:
عن ابى هريرة رضى الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المسلم
إخو المسلم لا يكذبه ولا يخذله كل مسلم على المسلم حرام عرضه وماله ودمه التقوى
ههنا بحسب امرئ السر ان يحقر اخاه المسلم (رواه الترمذى وقال: حديث حسن)
Artinya: “dari
Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: sesama muslim adalah
bersaudara. Sesama muslim tidak boleh menghianati, mendustai dan menghinakanya.
Sesama muslim haram mengganggu kehormatanya, harta dan darahnya. Taqwa itu ada
disini (sambil menunjuk dadanya). Seseorang cukup dianggap jahat apabila ia
menghina saudaranya yang muslim.” (diriwayatkan oleh Tirmidzi, ia berkata:
hadis ini hasan). (Abd Aziz, 1999: 449).
KESIMPULAN
Akhlak
merupakan cermin kepribadian seseorang, sehingga baik buruknya seseorang dapat
dilihat dari kepribadiannya. Al-Qur.an adalah sumber pokok dalam berprilaku dan
menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan
dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika
al-Qur.an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan
ketentraman bathin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa ayat 11 dan 12 surat al-Hujurat ini mengandung larangan
khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat: mengolok-olok orang lain, mengejek
diri kamu sendiri, dan memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang
buruk Orang yang dipanggil dengan gelar buruk, maka orang tersebut akan merasa
terhina dan ternodai kehormatannya, sedangkan memelihara kehormatan orang lain
adalah diwajibkan. Oleh karena itu, janganlah memanggil orang lain dengan gelar
buruk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak suka dengan panggilan
tersebut.
Allah SWT
melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang
lain, dan bergunjing. Sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini
merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut
termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita
mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat
yang terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk
sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking (husnudhdhan).
Allah SWT
memberi perumpamaan, orang-orang yang suka bergunjing itu seperti orang yang
memakan daging saudaranya yang sudah mati. Ajaran Islam menegaskan bahwa
seorang hamba harus menjauhi perbuatan tercela ini. Adapun yang menyebabkan
seseorang melakukan ghibah adalah: Hendak mencairkan amarah. Misalnya
disebabkan karena ada seseorang yang membuatnya marah maka, untuk mencairkan
amarahnya orang tersebut menggunjingnya, Menyesuaikan diri dengan teman-teman,
menjaga keharmonisan dan karena hendak membantu mereka, Ingin mengangkat diri
sendiri dengan cara menjelek-jelekan orang lain. Misalnya si fulan orangnya
bodoh, pengetahuannya rendah, sedangkan saya tidak seperti itu, Untuk canda dan
lelucon. Dia menyebutkan kekurangan seseorang dengan maksud untuk membuat orang
disekitarnya tertawa. Bahkan tidak sedikit orang yang mencari penghidupannya
dengan cara ini.
Allah SWT
memerintahkan supaya tetap bertakwa kepada-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Maha Penyayang kepada siapa saja yang benar-benar kembali
kepada-Nya, yakni melaksanakan taubatan nasuha, dan inilah taubat yang
sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar